Mengorek Akar Sejarah Tradisi Megengan Jelang Ramadan

R  A  M  A  D  A  N
-------
Tabloid NUsa Ma'arif NU Tuban

Alamat Redaksi : Kompleks Kantor LP. Ma’arif NU Tuban Jl. Manunggal 10-12 email: tabloidnusa@yahoo.co.id atau tabloidnusa9@gmail.com

Rabu, 03 September 2014

_

Allahumma Barik lana fi Rojaba wa Sy’bana wa Ballighna Ramadhana


Kedatangan Ramadan selalu disambut suka cita oleh umat Islam. Berbagai kegiatan dilaksanakan untuk menyambut kedatangan bulan suci ini. Megengan adalah salah satu tradisi masyarakat Jawa, khususnya Jawa Timur, dalam menyambut kedatangan Ramadan. Apa makna  di balik tradisi megengan tersebut?


Megengan biasanya dilakukan menjelang minggu terakhir di bulan Sya’ban. Di Tuban, yang memiliki ikon Bumi Wali, Megengan dimaknai dan dilaksanakan dengan arti yang berbeda-beda. Seperti yang telah dijelaskan oleh H. Mujami’, tokoh masyarakat Desa Sendang, Senori. “Megengan berasal dari kata megeng berarti menahan (ngempet) dan yang berarti sebenarnya, mengingat bahwa sebentar lagi bulan puasa akan tiba,” tuturnya.

Dalam tradisi, Megengan juga dimanfaatkan untuk mendoakan sesepuh ahli kubur yang telah mendahului. Megengan juga diwarnai dengan tradisi ungkapan rasa syukur (syukuran) dengan membagi-bagi makanan. Baik di Senori atau daerah lainnya di Tuban, Megengan biasanya dilaksanakan dengan cara kondangan (mengundang orang-orang sekitar ke rumah). Berbeda istilah dengan di kotanya (Tuban Kota), Megengan biasanya disebut dengan Mapak, yaitu menyambut kedatangan bulan yang penuh rahmat dan ampunan ini.


Dibawa oleh Sunan Jaga

Sebelum kedatangan Wali Songo di Jawa, tradisi Megengan sudah ada pada pemerintahan Majapahit yakni Ruwahan, yang berasal dari kata “Ruwah” yakni bulan urutan ketujuh yang bersamaan dengan bulan Sya’ban tahun Hijriyah. Kata ruwah memiliki makna kata “arwah” yang berarti roh para leluhur dan nenek moyang. Setelah kedatangan Wali Songo ke pulau Jawa, tradisi tersebut pelan-pelan diubah dengan pelaksanaan dan nama yang berbeda.

Diyakini bahwa Sunan Kalijogo-lah salah satu Wali Songo yang memperkenalkan tradisi Megengan ini kepada masyarakat Jawa. Tradisi ini diperkenalkan pada saat penyebaran Islam di Jawa (Jawa Timur dan Jawa Tengah bagian selatan). Kanjeng Sunan berdakwah pada masyarakat Jawa pedalaman dengan menggunakan metode akulturasi budaya (proses sosial budaya). Di mana saat itu, Megengan sebenarnya adalah pembelokan dari adat lokal. Yang mana dahulu masih adanya tradisi sesajen dalam ruwahan yang dipersiapkan khusus untuk arwah dan tidak boleh dimakan. Namun, adat demikian tersebut perlahan dirubah oleh Kanjeng Sunan dengan adat Megengan yaitu sesajen dirubah dengan sedekah makanan, dan makanan tersebut diperuntukkan untuk dibagikan dan dimakan bersama.

Dengan metode tersebut Sunan Kalijogo dapat berbaur dengan masyarakat dan memperkenalkan Megengan sebagai ganti dari ruwahan. Seperti yang telah kita kenal selama ini, masyarakat Jawa pedalaman memiliki ikatan tradisi yang sangat kuat dan ungguh-ungguh mereka sangat dijaga terhadap orang yang lebih tua dan terutama pemuka agama. Namun akan sangat sulit apabila diharuskan meninggalkan tradisi Ruwahan dan diganti dengan tradisi Islam yang berbau Arab meski Megengan adalah syukur dan doa. Dalam hal ini pembelokan adat tersebut dianggap masih bisa dan masih sesuai dengan syariat Islam.

“Kalau misalkan adatnya menyembah berhala, secepatnya itu harus diberantas. Tapi, dahulu ulama menganggap adat sesajen tersebut masih bisa dibelokkan, yaitu menjadi sedekah makanan kepada sesama, tentunya dengan memberikan pemahaman aqidah kepada masyarakat terlebih dahulu,” jelas K. Damanhuri, pengasuh PP Mambaul Huda, Rengel.

Bulan Ramadan adalah bulan puncak, di mana sebelum adanya bulan Ramadan kita akan melewati beberapa tahapan di bulan sebelumnya dan kita akan kembali fitri setelah sebulan berpuasa Ramadan. Dan hadirnya Megengan salah satunya ialah momentum untuk mengingat  bahwa kita akan menjalani puasa selama satu bulan. Di mana satu bulan puasa tersebut adalah menjadi bulan yang diagungkan.

Dalam tataran agama, megengan dipakai sebagai tanda kesiapan mental menyambut Ramadan. Salah satunya yakni latihan suka sedekah. Karena banyak sekali keutamaan Ramadan dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain. Di antaranya yaitu Ramadan adalah bulan diturunkannya Alquran,adanya malam lailatul qodar, dll. Dan karena keistimewaan bulan tersebut sehingga dijadikannya momentum yang tepat untuk memperoleh keberkahan dari Allah SWT.

Ada beberapa golongan yang berpendapat bahwa Megengan adalah termasuk tradisi sesat. Karena megengan bukanlah sesuatu yang diajarkan di zaman Rasulullah dan Megengan adalah perkara baru dalam agama sehingga dikatakannya bidah. Namun, menurut Damanhuri para ulama ahlussunnah Wal Jama’ah berpandangan bahwa hadis “semua bidah itu sesat”, adalah kata-kata umum yang harus dibatasi jangkauannya (a’m makhsush). Oleh karena  itu, maka para ulama membagi bidah menjadi dua, bidah hassanah (baik), dan bidah sayyi’ah (buruk)”.

“Tidak berarti semua yang tidak diajarkan Rasulullah adalah sesat, bahkan dapat menjadi bidah hassanah apabila sesuai dengan tuntunan syara, “ tambahnya.

Seperti halnya salah satu contoh bidah hassanah yaitu, pada masa Rasulullah, Abu Bakar dan Umar azan Jumat dikumandangkan apabila imam telah duduk di atas mimbar. Pada masa Ustman, kota Madinah semakin luas, populasi penduduk semakin meningkat, sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jumat sebelum imam hadir ke mimbar. Lalu Utsman menambah azan pertama, yang dilakukan di Zaura’, tempat di pasar Madinah, agar mereka segera berkumpul untuk menunaikan salat Jumat, sebelum imam hadir ke atas mimbar. Semua sahabat yang ada pada waktu itu menyetujuinya. Apa yang beliau lakukan ini termasuk bidah, tetapi bidah hassanah dan dilakukan hingga sekarang oleh kaum muslimin. Bisa pula menamainnya dengan sunah, karena Ustman termasuk Khulafaur Rasyidin yang sunahnya harus diikuti.

Karena itu, Damanhuri menegaskan kalau Megengan bukanlah sesuatu yang sesat. Karena implementasi dari Megengan sendiri merujuk kepada hikmah yang banyak. ‘’Di antaranya selain kita harus menyiapkan mental sebelum menempuh puasa Ramadan, kita juga diajarkan untuk saling ber-sodaqoh,’’ tegas K. Damanhuri.

Tabloid NUsa Maarif NU Tuban di 01.35

Berbagi

-------
Bacaan doa niat puasa Ramadan sebulan:

نَوَيْتُ صَوْمَ شَهْرِ رَمَضَانَ كِلِّهِ لِلَّهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma syahri ramadhaana kulihi lillaahi ta’aalaa

"Aku niat berpuasa selama satu bulan penuh di bulan Ramadan tahun ini karena Allah Taala"

-------

Bacaan doa niat puasa Ramadan harian:

نـَوَيْتُ صَوْمَ غـَدٍ عَـنْ ا َدَاءِ فـَرْضِ شـَهْرِ رَمـَضَانَ هـَذِهِ السَّـنـَةِ لِلـّهِ تـَعَالىَ

Nawaitu saumagadin an'adai fardi syahri ramadhana hadzihissanati lillahita'ala

"Aku niat berpuasa esok hari untuk menunaikan kewajiban puasa pada bulan Ramadan tahun ini karena Allah Taala".

_____
(surat elektronik | anonim) 

Posting Komentar

0 Komentar