Dilan Benar, Rindu Itu Berat

Madinah kala itu sendu dengan rona langit yang berwarna kelabu, tetapi kota tempat Nabi SAW mengistirahatkan raganya itu. Tiba-tiba mendadak menjadi riuh karena kedatangan sosok yang sudah lama pergi dari kota Madinah. Ia adalah Bilal íbn Rabbah.

Dengan langkah gontai, Bilal langsung masuk ke masjid Nabawi dan menuju ke makam Nabi SAW. Di sana ia tak kuasa menahan bulir-bulir air mata yang menggenang di pelupuk matanya.

Umar ibn Khattab yang saat itu sudah menjadi Khalifah bergegas-gegas menuju masjid Nabawi ketika mendengar kedatangan Bilal, langkahnya diikuti Hassan dan Hussain, kakak-beradik kesayangan Sang Nabi.

“Apa yang membawamu ke sini duhai muadzin Rasulullah?” tanya Umar memecah isak tangis Bilal.

“Mimpi,” jawab Bilal dengan nada tersengal-sengal, “Rasulullah mendatangiku dalam mimpi, ia menanyakan mengapa aku tak kunjung mengunjunginya di Madinah,” nada Bilal masih sedu sedan.

Alasan Bilal meninggalkan kota Madinah pasca-Nabi SAW wafat memang karena ia tak kuasa menahan kesedihan ditinggal sosok yang sangat dicintainya. Meninggalkan Madinah akan sedikit mengurangi kesedihannya.

“Duhai paman, betapa kami juga merindukan kedatanganmu kembali di sini” ujar Hassan.

“Maukah paman mengumandangkan azan kembali seperti ketika kakek kami masih hidup?” Hussain menimpali, permintaan Hussain juga disetujui Umar ibn Khattab.

“Wahai Bilal, kumandangkanlah azan kembali seperti dahulu, ketika Rasulullah masih bersama kita”, sambung Umar.

Bilal pun memenuhi permintaan mereka. Ketika waktu salat tiba, ia naik ke tempat yang dahulu sering ia gunakan untuk mengumandangkan azan. Ketika suara Bilal menggema menyelimuti kota Madinah masing-masing yang hadir pada saat itu mengingat masa-masa indah bersama Nabi SAW. Riuh isak tangis pun mengikuti suara azan.

“Jangan lupakan kami dalam doamu duhai saudara tersayang”, ucapan Rasulullah mengiang-ngiang di dalam kepala Umar ibn Khattab. Ucapan yang Rasul berikan ketika Umar berpamitan untuk menunaikan umrah.

“Tiada bahaya apa pun yang menimpa Utsman setelah ini”, Utsman mengingat-ingat perkataan Rasulullah ketika perang Tabuk. Pundaknya pun berguncang karena tangisan,

“Ketahuilah kedudukanmu di sisiku laksana Harun di sisi Musa, tapi tiada Nabi sesudahku”, Ali ibn Abi Thalib pun mengingat kenangan bersama Rasulullah dengan mata memerah karena banyaknya air mata yang menggenang.

Ketika Bilal sampai di kalimat “Asyhadu anna Muhammadan Rasuulullaaah” pecah tangis penduduk Madinah. Umar paling kuat isak tangisnya di antara mereka. Bilal pun tak sanggup meneruskan karena dadanya sudah tak sanggup lagi menahan haru.

Itulah rindu, rindu itu berat kata Dilan, tetapi rindu yang seperti apa dahulu?

Madinah hari-hari penuh berkah, Rasulullah sedang duduk-duduk dengan para sahabatnya di pelataran masjid Nabawi, tiba-tiba beliau berujar, "Aku ini rindu sekali dengan saudara-saudaraku.”

Sahabat bertanya, "Duhai kekasih Allah, siapa yang engkau rindukan, bukankah kami ini saudara-saudaramu?"

Beliau SAW menjawab, "Kalian adalah sahabat-sahabatku, sedang saudara yang aku maksud adalah mereka yang belum pernah bertemu denganku, akan tetapi beriman dan mempercayaiku.”

Kelak dua rasa rindu ini akan berjumpa di akhirat. Rasa rindu Sang Nabi kepada umatnya, dan rindu umat kepada Nabinya. Rindu itu memang berat jika diarahkan kepada sosok yang tepat, dan sosok itu adalah Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam.

_______
@grupwa, 06022018

Posting Komentar

0 Komentar